Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Siasat Garuda Indonesia (GIAA) di Tengah Kerugian yang Membengkak

Rugi bersih Garuda Indonesia (GIAA) membengkak pada semester I/2024. Meski begitu, GIAA telah menyiapkan langkah-langkah perbaikan kinerja ke depan.
Dionisio Damara Tonce, Fahmi Ahmad Burhan
Rabu, 2 Oktober 2024 | 08:30
Pesawat garuda Indonesia mendarat di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (11/6/2024). Bisnis/Paulus Tandi Bone
Pesawat garuda Indonesia mendarat di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (11/6/2024). Bisnis/Paulus Tandi Bone

Bisnis.com, JAKARTA - Rugi bersih PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) membengkak pada semester I/2024. Di tengah kondisi tersebut, GIAA menyiapkan sederet langkah-langkah perbaikan kinerja ke depan.

Berdasarkan laporan keuangan yang diaudit, GIAA sebenarnya telah mencatatkan peningkatan pendapatan usaha 18,26% secara tahunan (year on year/YoY) menjadi US$1,62 miliar atau Rp24,62 triliun pada semester I/2024. 

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan capaian itu dikontribusikan oleh pendapatan penerbangan berjadwal sebesar US$1,27 miliar, atau meningkat 15,72% YoY. Adapun, pendapatan penerbangan tidak terjadwal mencapai US$177,97 juta, dan pendapatan lainnya menyumbang US$167,6 juta.

“Hingga pertengahan tahun 2024, Garuda Indonesia secara bertahap berhasil mengimplementasikan sejumlah langkah strategis optimalisasi kinerja baik dari aspek layanan dan aspek operasional,” ujar Irfan dalam keterangan tertulis, Selasa (1/10/2024).

Pendapatan usaha GIAA juga selaras dengan pertumbuhan jumlah penumpang yang mencapai 11,53 juta atau meningkat 27,40% dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 9,05 juta penumpang.

Secara terperinci, capaian angkutan penumpang hingga akhir Juni lalu berasal dari Garuda Indonesia sebanyak 5,27 juta penumpang yang meningkat 45,17% YoY, sedangkan Citilink mencapai 6,27 juta penumpang tumbuh 15,49% secara tahunan.

Di sisi lain, perseroan pelat merah itu mencatatkan pembengkakan beban usaha dari US$1,24 miliar menjadi US$,153 miliar. Beban operasional GIAA tercatat mencapai US$839,12 juta, serta beban pemeliharan dan perbaikan US$257,57 juta.

Selain itu, beban kebandaraan naik dari US$97,15 juta menjadi US$123,05 juta dan beban pelayanan penumpang membengkak dari US$80,36 juta menjadi US$107,16 juta. Peningkatan beban ini yang akhirnya membuat GIAA menorehkan rugi bersih.

“Tidak dapat dipungkiri di tengah fase industri penerbangan global yang masih terus bergerak dinamis pascapandemi, penguatan profitabilitas perusahaan masih menjadi tantangan utama yang terus kami akselerasikan,” kata Irfan.

Alhasil, GIAA masih membukukan rugi bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar US$101,65 juta, membengkak 32,88% YoY dari rugi bersih US$76,5 juta pada semester I/2023. 

Irfan menambahkan manajemen meyakini GIAA dapat mempertahankan kinerja positif dari sisi pendapatan usaha hingga akhir tahun. Upaya tersebut ditempuh melalui fokus peningkatan alat produksi, optimalisasi jaringan penerbangan, hingga memperluas portofolio bisnis.

Lebih terperinci, manajemen GIAA dalam laporan keuangan membeberkan sejumlah rencana operasional dan keuangan untuk memperbaiki kinerja perseroan ke depan. 

Baca Juga : Garuda Indonesia (GIAA) Setor Aset Rp418,28 Miliar Untuk GMFI Lewat Right Issue

GIAA menjabarkan bahwa peningkatan pendapatan usaha pada semester I/2024 didukung oleh keberhasilan grup dalam melakukan restrukturisasi utangnya yang dituangkan dalam keputusan homologasi tertanggal 27 Juni 2022. Selain itu, GIAA juga memperoleh pendanaan Rp7,5 triliun dan Rp725 miliar yang berasal dari penyertaan modal negara (PMN) dan PPA.

"Keberhasilan restrukturisasi utang dan pendanaan tambahan dari PMN, memberikan dampak positif kepada perusahaan, baik terhadap kinerja keuangan dan operasi," tulis Manajemen GIAA di laporan keuangan dikutip pada Rabu (2/10/2024).

Alhasil, GIAA pun mampu mencapai laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) positif sebesar US$424 juta.

Namun, hingga semester I/2024, GIAA masih mempunyai jumlah liabilitas jangka pendek melebihi aset lancarnya sebesar US$613 juta dan ekuitas negatif sebesar US$1,38 miliar per 31 Desember 2023.

Hal-hal tersebut mengindikasikan adanya unsur ketidakpastian yang material yang dapat menyebabkan keraguan signifikan atas kemampuan GIAA untuk mempertahankan kelangsungan usahanya.



Untuk mengatasi kondisi tersebut, Manajemen GIAA telah membuat beberapa rencana. Untuk operasional, GIAA menyiapkan rencana bisnis dengan memperhatikan kondisi pasar atas transportasi udara di tahun-tahun mendatang dan kondisi keuangan yang ada.

GIAA, misalnya, akan fokus utama pada rute domestik dan selektif rute internasional yang memberikan hasil yang positif. Kemudian, optimalisasi armada akan ditempuh GIAA melalui penyesuaian atas armada dan rencana armada yang ada.

Pada 2019, jumlah armada GIAA yang semula terdiri dari 210 pesawat dan menurun drastis pada 2021-2022 akibat pandemi. Kini mulai meningkat menjadi 159 pesawat sampai dengan 2026.

GIAA pun menjalankan sinergi perencanaan penerbangan, optimalisasi cargo operation, penerapan dynamic pricing and planning, penerapan unbounding product strategy, serta optimalisasi struktur organisasi grup.

Lalu, GIAA menjalankan efisiensi dan atau optimalisasi terhadap seluruh komponen biaya yang ada, optimalisasi loyalty dan ancillary, serta mendukung pelaksanaan restrukturisasi keuangan dan operasional pada anak usaha.



Untuk rencana keuangan, GIAA menyiapkan penambahan modal, penambahan dana dari mitra strategis, hingga penarikan lebih awal atas utang obligasi dan sukuk.

Sejak 2023, GIAA juga telah membentuk sinking fund pada rekening bank di bank BUMN sebagai bentuk komitmen penyelesaian kewajiban perusahaan.

Sementara itu, GIAA menilai terdapat berbagai risiko bisnis yang akan dihadapi, misalnya, volatilitas harga avtur yang dapat memengaruhi arus kas dan beban operasional penerbangan serta volatilitas kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang memengaruhi arus kas operasional dan pendapatan usaha.

Selain itu, terdapat risiko kebijakan pemerintah atas tarif yang memengaruhi fleksibilitas dalam mengelola harga tiket penerbangan domestik serta risiko atas keterbatasan armada yang disebabkan terganggunya rantai pasokan komponen pesawat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper