Bisnis.com, JAKARTA — Daya tarik reksa dana terproteksi mulai pudar seiring besaran pajak yang tidak lagi sekompetitif dulu. Kondisi ini diprediksi berlanjut seiring wacana relaksasi pajak instrumen investasi lain.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan per akhir Mei 2021, dana kelolaan reksa dana secara industri tercatat sebesar Rp536,28 triliun, turun Rp31,74 triliun atau 5,59 persen dari posisi Rp568,02 triliun per akhir April lalu.
Jika dilihat berdasarkan jenis, reksa dana terproteksi menyumbang penurunan terbesar yakni susut Rp39,87 triliun atau 28,79 persen dalam sebulan, menjadi Rp98,61 triliun dari sebelumnya Rp138,61 triliun.
Penurunan dana kelolaan reksa dana terproteksi sendiri salah satunya disebabkan oleh keluarnya dana haji yang ditempatkan oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dari instrumen reksa dana terproteksi syariah.
Aksi pemindahan dana investasi ini menyusul berlakunya PMK no. 18 Tahun 2021 yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja.
Beleid tersebut mengatur dikatakan bahwa BPKH mendapat pengecualian pajak termasuk penghasilan dari pengembangan keuangan haji dalam bidang atau instrumen keuangan tertentu termasuk imbal hasil dari obligasi syariah (sukuk).
Baca Juga
Perpindahan dana tersebut juga tercermin dalam data kepemilikan SBN Rupiah dari DJPPR, yang mana untuk periode 30 April 2021—31 Mei 2021 terdapat penurunan kepemilikan oleh reksa dana sebesar Rp33,08 triliun.
Sebaliknya, dalam periode yang sama kepemilikan kategori “Lainnya” atau “Others” terpantau mengalami peningkatan dari sebelumnya Rp256,76 triliun menjadi Rp287,23 triliun alias bertambah sekitar Rp30,47 triliun.
Hingga berita ini ditulis, pihak BPKH belum memberikan konfirmasi terkait pemindahan dana investasi dari instrumen reksa dana ke SBN tersebut.
Head of Market Research Infovesta menilai aksi yang dilakukan oleh BPKH sebagai tindakan yang wajar karena dengan menempatkan dana investasi langsung di instrumen SBN potensi imbal hasil yang akan didapat lebih besar dibandingkan dengan pengelolaan melalui manajer investasi yang dibebani oleh biaya manajemen (management fee).
Menurutnya, banyak institusi yang memilih untuk menaruh dana di produk reksa dana terproteksi karena terdapat reksa dana dikenai pajak yang lebih kecil yakni hanya 10 persen dibandingkan dengan pajak obligasi yang sebesar 15 persen.
Alhasil, jika suatu institusi mendapat pengecualian pajak, akan jauh lebih menguntungkan bagi mereka untuk mengelola investasinya secara mandiri, seperti yang terjadi pada BPKH setelah mendapat relaksasi pajak.
“Kalau kasusnya begitu ya memang mending dipegang sendiri, seperti Dapen [Dana Pensiun] kan. Karena selama ini daya tarik terproteksi ini memang dari pajaknya yang lebih kecil,” ujar Wawan kepada Bisnis, Selasa (8/6/2021)
Wawan menyebut daya tarik reksa dana terproteksi berpotensi kian pudar seiring adanya wacana pemerintah yang akan memberikan diskon PPh Obligasi dari yang semula 15 persen menjadi 10 persen.
Di sisi lain, pajak reksa dana sendiri baru mulai kembali menjadi 10 persen sejak awal tahun ini, setelah sebelumnya mendapatkan relaksasi sebesar 5 persen.
“Kalau sama-sama 10 persen, ibaratnya nggak ada keuntungan lagi memegang proteksi. RD Terproteksi itu ada management fee dll yang sebelumnya tercover oleh penghematan pajak, jadi kalau sekarang pajaknya sama, ya sudah akan terus berkurang terutama institusi,” tutur Wawan.
Lebih lanjut dia mengatakan, jika porsi reksa dana terproteksi kian mengecil, salah satu reksa dana yang dapat mengerek dana kelolaan industri reksa dana pasar uang yang kini tengah naik daun, apalagi di tengah pertumbuhan investor ritel yang juga agresif.
“Ini bisa diharapkan jadi motor pengganti, institusi banyak masuk ke sini. Lalu saya rasa beberapa tahun ke depan masyarakat akan lebih familiar dan rd pasar uang ini jadi pilihan, banyak yang sudah connect ke digital juga. Ini bisa terus pesat,” ujar Wawan.
Terpisah, Ketua Dewan Presidium Asosiasi Pelaku Reksa Dana & Investasi Prihatmo Hari Mulyanto mengatakan industri reksa dana di dalam negeri masih perlu ruang untuk berkembang.
Menurutnya, secara jumlah investor dan AUM reksa dana dibandingkan PDB di Indonesia masih sangat tertinggal dibandingkan negara-negara lain di Asean sehingga masih diperlukan insentif.
“Selama 3 tahun terakhir pertumbuhan investor retail sangat besar. Saya rasa ini yang harus diapresiasi dan diberikan katalis lebihh lanjut, dalam rangka memperkuat basis investor domestik,” ujar Hari kepada Bisnis, Selasa (8/6/2021)
Dia menekankan, dalam investasi dalam efek bersifat utang melalui reksa dana ada peran dari MI sehingga investor akan lebih terlindungi. Namun, sebagai konsekuensinya ada biaya-biaya mandatory yang harus dibayarkan.
“Nah biaya-biaya itu yang perlu diperhitungkan dalam bentuk pembedaan tarif,” pungkasnya.