Bisnis.com, JAKARTA--Harga tembaga tertekan akibat impor China, sebagai produsen sekaligus pengguna terbesar di dunia, merosot ke posisi terendah dalam 17 bulan terakhir. Situasi tersebut menjadi sinyal pelemahan tembaga pada paruh kedua 2016.
Pada penutupan perdagangan Rabu (24/8) harga tembaga London Metal Exchange (LME) merosot 0,78 poin atau 1,66% poin menuju US$4.632 per ton. Sementara harga tembaga Comex kontrak Desember 2016 dalam perdagangan Kamis (25/8) pukul 16:35 WIB naik 0,7 poin atau 0,34% poin menjadi US$209,2 per pon.
Berdasarkan data bea cukai China, impor tembaga olahan merosot selama empat bulan berturut-turut pada Juli 2016 menjadi 251.235 ton. Pada Juli 2016, impor mencapai 305.304 ton, sedangkan Juli 2015 sebesar 259.733 ton.
Adapun produksi tembaga olahan meningkat 5,24% (m-o-m) menuju 722.000 ton pada Juli 2016. Artinya, dalam tujuh bulan pertama 2016, tingkat produksi naik 7,9% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Pengiriman tembaga atau ekspor pada Juli 2016 mencapai 75.007 ton, naik 76% dari bulan sebelumnya sejumlah 42.596 ton dan Juni 2015 sebanyak 14.937 ton.
Menurut bea cukai, surutnya impor ke level terendah dalam 17 bulan terakhir akibat melemahnya permintaan pada musim panas. Di sisi lain, peningkatan produksi dari sejumlah smelter tetap terjadi.
Ji Xianfei, analis Guotai Junan Futures Ltd., menyampaikan selain dari fundamental China, harga tembaga tertekan setelah lonjakan stok di LME. Persediaan dalam tiga hari terakhir (terhitung sampai kemarin) melompa 21%.
"Hal ini membuat proyeksi permintaan dari Negeri Panda merosot pada paruh kedua 2016," paparnya seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (25/8/2016).
Meskipun demikian, langkah Bank Sentral China yang merencanakan pemberian stimulus ke pasar meningkatkan ekspektasi peningkatan belanja. Secara otomatis permintaan tembaga pun diprediksi bakal meningkat.
Jie Zheng, analis Huatai Financial Holdings (Hong Kong) Limited dalam publikasi risetnya, Kamis (25/8), menyampaikan harga tembaga diprediksi melemah akibat menurunnya konsumsi. Huatai China Copper Consumption Index menunjukkan pertumbuhan permintaan melambat, yakni turun 17% pada Juni 2016 dibandingkan 22% pada Mei 2016.
Dari sisi suplai, kelebihan pasokan bakal terjadi setelah industri-industri yang pernah beroperasi kembali melakukan aktivitas penambangan. Huatai memprediksi rerata harga tembaga 2016 senilai US$4.664 per ton, dan 2017 sebesar US$4.804 per ton.
Sejumlah riset menyatakan pasar global masih kelebihan pasokan sehingga harga di LME akan jatuh pada tahun ini. RBC Capital Markets mengestimasi surplus di 2016 sebanyak 181.000 ton, sementara Goldman Sachs Group Inc., memperkirakan pasar akan seimbang mulai 2020.
Matthew Wonnacott, Analis CRU, menuturkan, sebetulnya penyerapan pasar sudah meningkat, sehingga mendorong penguatan harga. Konsumsi dunia untuk tembaga yang sudah dimurnikan meningkat 1,1% pada 2016, dengan China bertumbuh 1,3%.
Namun, masih ada beberapa negara yang mengurangi konsumsi. Di Amerika Tengah dan Amerika Selatan misalnya, tingkat permintaan terkoreksi 5,2%.
Sementara itu, sejumlah perusahaan penambangan menekan belanja modal untuk membatasi kegiatan produksi. Freeport-McMoRan berencana memangkas biaya 28%, dan Glencore menggunting belanja sebanyak 24% tahun ini.
"Secara keseluruhan, kami menilai pasar masih cenderung bearish pada paruh kedua 2016 dan berlanjut hingga tahun depan," paparnya. CRU memprediksi rerata harga tembaga tahun ini sebesar US$4.560 per ton.