Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BEI Bicara Nasib Bursa Karbon RI di Tengah Tantangan Kebijakan Tarif Trump

BEI buka suara terkait dengan nasib bursa karbon Indonesia atau IDXCarbon saat pasar dibayangi sentimen kebijakan tarif Donald Trump.
Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (KLH/BPLH), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) meresmikan Perdagangan Internasional Perdana Unit Karbon Indonesia melalui Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) di Main Hall BEI, Senin (20/1/2025)./OJK
Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (KLH/BPLH), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) meresmikan Perdagangan Internasional Perdana Unit Karbon Indonesia melalui Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) di Main Hall BEI, Senin (20/1/2025)./OJK

Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan Presiden AS Donald Trump telah mengguncang pasar karbon global. Bursa Efek Indonesia (BEI) pun turut berkomentar terkait dengan nasib bursa karbon Indonesia atau IDXCarbon.

Sebagaimana diketahui, kebijakan Trump tidak hanya terkait dengan perang dagang. Trump pun bermanuver untuk kembali mengerek produksi batu bara AS. Kebijakan itu turut mengguncang pasar karbon global.

Perintah eksekutif terbaru Trump yang menyasar kebijakan iklim di tingkat negara bagian tercatat telah memicu aksi jual di pasar karbon AS. Harga karbon sempat anjlok tajam, tetapi segera pulih setelah sejumlah negara bagian menegaskan komitmen mereka terhadap program iklim mereka.

Kepala Divisi Pengembangan Bisnis 2 BEI Ignatius Denny Wicaksono mengatakan perkembangan pasar karbon global sebelum Trump memang menggeliat. Hal ini seiring dengan ambisi nol bersih emisi atau net zero emission berbagai negara pada 2060.

"Dulu trajectory sudah bagus sebelum Trump. Ada supply chain dari net zero emission 2060. Akan tetapi sekarang agak mundur," kata Denny dalam acara Executive Forum pada Jumat (25/4/2025).

Sebelum Trump, menurut Denny, pasar karbon sebenarnya sudah tertekan oleh greenwashing, atau teknik pemasaran yang dilakukan perusahaan guna menciptakan citra ramah lingkungan, namun menyesatkan.

Dilansir dari Bloomberg, Otoritas Sekuritas dan Bursa Eropa atau European Securities and Markets Authority (ESMA) melakukan tinjauan terhadap lebih dari 200 bank dan manajer aset selama dua tahun. Terdapat indikasi bahwa praktik environmental, social, and governance (ESG) tidak berjalan 'hijau' sebagaimana mestinya.

Otoritas juga menemukan bahwa sejumlah industri keuangan di Eropa gencar menggembar-gemborkan kredensial ESG mereka tanpa memberikan dokumentasi. Hal itu pun memicu kekhawatiran baru soal praktik greenwashing yang besar.

"Namun, ke depannya [bursa karbon] akan tetap berkembang dengan baik di Indonesia," kata Denny.

Berdasarkan catatan BEI, selama kuartal I/2025, terdapat total 690.675 tCO2e unit karbon yang diperdagangkan melalui IDXCarbon. Jumlah itu melebihi jumlah total volume transaksi perdagangan karbon sepanjang 2024 maupun sepanjang 2023.

Sepanjang 2024, IDXCarbon membukukan transaksi sebesar 413.764 tCO2e. Sementara, sepanjang 2023 atau sejak beroperasinya IDXCarbon pada 26 September hingga akhir Desember 2023, volume transaksi perdagangan di bursa karbon mencapai 494.254 tCO2e.

Saat ini, telah terdapat tujuh proyek pengurangan emisi berbasis teknologi yang diperjualbelikan, dengan jumlah available to be traded sebanyak 2.203.119 tCO2e.

BEI juga mencatat peningkatan pengguna jasa IDXCarbon sebesar 22% menjadi 111 Pengguna sepanjang kuartal I/2025 ini.

Direktur Climate Policy Initiative (CPI) Tiza Mafira mengatakan kebijakan Trump terkait industri hijau sebenarnya akan merugikan AS sendiri. Sebab, AS telah banyak mengembangkan energi terbarukan.

"Jadi kebijakan tidak mendukung energi hijau itu kebijakan yang berusaha menahan arus. Jadinya, rugi sendiri," tutur Tiza.

Bagi Bursa Karbon Indonesia, menurut Tiza, asal tidak ikut-ikutan kebijakan Trump, pasar akan aman.

Terlebih, menurutnya AS bukan kontributor utama pendanaan iklim. Negara lain seperti India hingga China pun bisa berkontribusi terhadap pasar karbon.

"Jadi, masih banyak opsi dan peluang yang bisa diambil," tutur Tiza.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Ibad Durrohman
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper