Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mata Uang Asia dalam Tekanan saat Tarif Trump ke China Berlaku

Dalam sepekan terakhir, mata uang di kawasan Asia seperti baht Thailand dan won Korsel tertekan ancaman tarif impor AS terhadap China.
Uang won pecahan 50.000 dan 100.000 dipotret di Seoul, Korea Selatan pada Kamis (18/4/2024). / Bloomberg-SeongJoon Cho
Uang won pecahan 50.000 dan 100.000 dipotret di Seoul, Korea Selatan pada Kamis (18/4/2024). / Bloomberg-SeongJoon Cho

Bisnis.com, JAKARTA – Mata uang Asia kembali terancam setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif baru terhadap China, meredam harapan bahwa kebijakan tersebut hanya sekadar strategi negosiasi.

Melansir Bloomberg, Selasa (4/3/2025), dalam sepekan terakhir, mata uang di kawasan Asia tertekan, dengan baht Thailand dan won Korea Selatan anjlok sekitar 2%.

Kekhawatiran terhadap eskalasi perang dagang global melemahkan minat risiko, sementara reli mata uang Asia sejak awal tahun mulai tergerus setelah beberapa bank sentral menurunkan suku bunga guna menopang pertumbuhan ekonomi.

Manajer dana Manulife Investment Management Eric Lo menilai risiko terhadap mata uang Asia semakin besar, terutama jika pemerintahan AS semakin agresif dalam kebijakan tarifnya.

“Selain itu, preferensi bank sentral Asia untuk memangkas suku bunga tahun ini berpotensi menahan penguatan mata uang di kawasan,” jelasnya.

Indeks Bloomberg untuk mata uang negara berkembang Asia turun sekitar 0,8% pekan lalu setelah Trump mengumumkan pajak tambahan 10% atas impor China, serta tarif 25% terhadap Meksiko dan Kanada.

Penurunan ini mempercepat pelemahan indeks dari posisi tertingginya dalam dua bulan terakhir pada 24 Februari.

Pada Senin, Trump menegaskan akan tetap memberlakukan tarif baru terhadap Kanada dan Meksiko mulai Selasa, sementara Gedung Putih mengonfirmasi bahwa ia juga telah menandatangani perintah tarif terhadap China yang akan berlaku segera setelah tengah malam di Washington.

Dalam pernyataannya, pemerintah AS menuding Beijing gagal mengambil langkah memadai untuk menekan peredaran fentanil ilegal ke AS.

China langsung membalas pengenaan tarif impor baru AS. Beijing mengumumkan kenaikan pungutan impor sebesar 10%—15% yang mencakup berbagai produk pertanian dan pangan dari Negeri Paman Sam.

Dilansir dari Reuters, Selasa (4/2), China juga telah menetapkan pembatasan ekspor dan investasi ke 25 perusahaan asal AS atas alasan keamanan nasional. Sepuluh dari 25 perusahaan AS itu menjadi sasaran karena menjual senjata ke Taiwan, yang dinyatakan China sebagai bagian dari wilayahnya.

Para analis menilai Beijing masih berharap untuk bisa merundingkan dan meredam potensi perang dagang dengan pemerintahan Donald Trump. Kendati demikian, penetapan tarif balasan ini akan meningkat potensi terjadinya perang dagang habis-habisan antara dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia itu.

Ketidakpastian akibat kebijakan tarif semakin membebani mata uang Asia. Bank sentral Korea Selatan dan Thailand telah menurunkan suku bunga untuk merangsang pertumbuhan, langkah yang berlawanan dengan kebijakan moneter di negara-negara seperti Brasil. Di sisi lain, penguatan dolar AS setelah kemenangan Trump juga menekan mata uang Asia lebih dalam.

Kepala tim utang pasar negara berkembang Neuberger Berman Rob Drijkoningen mengatakan optimisme terhadap prospek mata uang Asia sulit terlihat.

”Imbal hasil yang rendah serta tekanan tarif AS terhadap China menjadi faktor negatif, meski tarif yang diterapkan tidak setinggi ancaman awal sebesar 60%,” ungkapnya.

Untuk mengurangi volatilitas, Drijkoningen mengalihkan investasinya ke negara-negara dengan korelasi lebih rendah terhadap AS, seperti Brasil dan Sri Lanka.

Menurut analisis abrdn Plc, mata uang Asia akan semakin bergejolak akibat ketidakpastian perdagangan global. Namun, ada secercah harapan jika ekonomi AS melambat, sehingga memaksa The Fed bersikap lebih dovish dan mengurangi pendekatan proteksionis Washington.

"Asalkan pertumbuhan ekonomi AS melemah lebih dari ekspektasi, mata uang Asia masih bisa bertahan terhadap dolar," ungkap Direktur Investasi Pendapatan Tetap Asia abrdn Edmund Goh.

Saat ini, ia berhati-hati dalam berinvestasi di mata uang Asia dan lebih memilih obligasi berbasis mata uang lokal di negara seperti Indonesia dan India.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper