Bisnis.com, JAKARTA — Bursa Efek Indonesia (BEI) akan menghapus pencatatan efek atau delisting delapan emiten pada 2025. Adapun, dari delapan emiten yang akan delisting itu, terdapat miliaran saham yang digenggam oleh publik.
BEI menjelaskan bahwa delisting dilakukan terhadap delapan emiten karena dinyatakan dalam status pailit. Mengacu ketentuan BEI, delisting atas suatu saham memang dapat terjadi karena beberapa kondisi.
Pertama, perusahaan tercatat mengalami suatu kondisi atau peristiwa yang signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha perusahaan tercatat, baik secara finansial atau secara hukum, dan perusahaan tercatat tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai.
Kedua, saham perusahaan tercatat telah mengalami suspensi efek, baik di pasar reguler dan pasar tunai, dan/atau di seluruh Pasar, paling kurang selama 24 bulan terakhir.
Adapun, delisting yang menyasar terhadap delapan emiten akan berlaku efektif pada 21 Juli 2025. Delapan perusahaan itu adalah PT Mas Murni Indonesia Tbk. (MAMI), PT Forza Land Indonesia Tbk. (FORZ), PT Hanson International Tbk. (MYRX), PT Grand Kartech Tbk (KRAH), dan PT Cottonindo Ariesta Tbk. (KPAS), PT Steadfast Marine Tbk. (KPAL), PT Prima Alloy Steel Universal Tbk. (PRAS), dan PT Nipress Tbk (NIPS).
Berdasarkan data yang diolah dari pengumuman BEI, total ada 68 miliar saham atau tepatnya 68.004.561.509 saham milik masyarakat yang mengendap di emiten tersebut.
Baca Juga
Secara rinci, saham masyarakat di MAMI mencapai 7,35 miliar saham berdasarkan laporan bulanan registrasi pemegang efek per 30 September 2024. Lalu sebanyak 1,09 miliar saham publik mengendap di FORZ.
BEI juga mencatat ada 57,42 miliar saham milik masyarakat di saham MYRX, yang terafiliasi dengan terpidana kasus Jiwasraya-ASABRI, Benny Tjokro.
Lalu, 105,49 juta saham masyarakat mengendap di KRAH dan 272,24 juta saham masyarakat mengendap di KPAS. Masih ada juga 584,7 juta saham masyarakat di KPAL, 322 juta saham masyarakat di PRAS, dan 666,94 juta saham masyarakat di NIPS.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan terkait dengan perlindungan investor sehubungan dengan delapan perusahaan yang akan dilakukan delisting oleh Bursa, sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 3 Tahun 2021, perusahaan wajib melakukan buyback saham publik. Buyback dilakukan sampai dengan jumlah sahamnya kurang dari 50 pihak atau jumlah lain yang ditetapkan oleh OJK.
"Bursa meminta pihak- pihak untuk terus memantau keterbukaan Informasi perseroan dan/atau pengumuman bursa selanjutnya," jelas Nyoman dalam jawaban tertulis, dikutip Minggu (22/12/2024).
Sebelumnya Nyoman mengatakan Bursa sebenarnya tidak serta-merta mendepak paksa emiten dari pasar modal. BEI akan mengumumkan potensi delisting sebanyak empat kali, jika emiten disuspensi sahamnya dalam kurun waktu 6 bulan hingga 24 bulan.
Pada masing-masing pengumuman itu, bursa menyampaikan potensi delisting. Setiap proses, bursa meminta penjelasan atau hearing dengan jajaran direksi, komisaris, bahkan founder perseroan.
Sementara dalam kasus delapan emiten yang akan delisting tahun depan, BEI telah menetapkan rangkaian jadwal terkait proses delisting. Pada 19 Desember 2024, pengumuman keputusan delisting kepada publik dan penyampaian surat pemberitahuan keputusan delisting (final). Hal ini termasuk imbauan buyback kepada perseroan dengan tembusan kepada OJK.
Waktu penyampaian keterbukaan informasi terkait buyback oleh perseroan dijadwalkan pada 18 Januari 2025. Selanjutnya 20 Januari hingga 18 Juli 2025 menjadi masa pelaksanaan buyback dan efektif delisting jatuh pada 21 Juli.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.