Bisnis.com, JAKARTA – Pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) yang melibatkan entitas perbankan dinilai perlu memiliki model bisnis yang jelas.
Tiga bank pelat merah yaitu Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, dan Bank Negara Indonesia (BNI) akan bergabung dalam calon superholding BUMN itu. Mereka akan berada dalam wadah yang sama dengan empat BUMN lainnya, yakni PLN, Pertamina, Telkom Indonesia, serta holding BUMN pertambangan, yaitu MIND ID.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Moch. Amin Nurdin mengatakan bahwa risiko yang timbul dari penggabungan aset bank dan entitas non-bank akan nihil apabila Danantara memiliki model bisnis yang jelas.
“Kalau holding, itu kan sebenarnya mengikat laporan keuangan dan tata kelola,” katanya kepada Bisnis melalui sambungan telepon, Kamis (21/11/2024).
Lebih lanjut, dia menilai bahwa model bisnis yang diterapkan Danantara kelak juga harus secara mengikat para pengurus yang terlibat di dalamnya. Selain secara tata kelola, hal ini mencakup visi untuk menyejahterakan masyarakat Indonesia.
Aspek berikutnya berkait kelindan dengan peran Danantara sebagai sovereign wealth fund, terutama untuk menarik minat investor asing agar menanamkan modalnya di Tanah Air. Tak hanya bagi entitas di dalam superholding, Amin menilai kebermanfaatan Danantara perlu dirasakan BUMN lainnya.
Baca Juga
“Harus ada dua sisi mata pisau. Terlepas risiko apa pun, harusnya Danantara juga mengerek BUMN-BUMN yang bermasalah,” lanjutnya.
Selain itu, dia menilai bahwa likuiditas bank yang tergabung akan terbantu dengan model bisnis yang jelas. Dia mengambil contoh BRI yang mampu beroperasi optimal kendati menaungi banyak entitas.
“Karena di dalam BRI ada ultramikro, super ultramikro, ratusan ribu pegawai. Itu sudah luar biasa, lho. Maksud saya, konsepnya [dapat diterapkan] seperti itu,” jelas Amin.
Sebelumnya, kekhawatiran mengenai risiko pengelolaan aset Danantara sempat muncul dari berbagai kalangan, salah satunya anggota DPR RI.
Anggota Komisi VI DPR RI Asep Wahyuwijaya menyebutkan adanya perbedaan mendasar dalam pengelolaan aset antara bank dan entitas non-bank di Danantara.
“Kalau Pertamina, MIND ID, PLN jelas. Di sana ada barang, aset. Tapi kalau di bank ini kan ada pihak ketiga. Saya kira sistem neraca akan pasti beda,” katanya dalam Rapat Dengar Pendapat di DPR yang dikutip pada Selasa (19/11/2024).
Anggota Fraksi Partai Nasdem itu juga menyoroti klaim proyeksi asset under management (AUM) Danantara yang dapat mencapai US$600 miliar. Dirinya pun mempertanyakan apakah klaim tersebut mencakup dana masyarakat yang dikelola bank atau tidak.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menyebut pihaknya masih akan melakukan koordinasi lanjutan.
“Kami nanti akan koordinasi, ya. Karena kami belum dapat betul bagaimana persis model bisnisnya, tapi nanti kami akan koordinasi,” ujarnya kepada wartawan.
Dari sisi pemain, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) Royke Tumilaar mengaku belum mengetahui detail tata kelola Danantara. Pihaknya masih akan mencermati perkembangan yang ada.
“Saya belum tahu strukturnya, belum tahu. Kami sih ikut saja yang terbaik, kan sepanjang itu bagus buat [negara]. Kita di bawah, yang berubah kan yang di atas, jadi saya enggak berani komen ya,” katanya di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (13/11/2024).