Bisnis.com, JAKARTA - Harga biji kedelai melanjutkan reli penguatan setelah sempat melesat ke level tertingginya dalam enam setengah tahun terakhir.
Dilansir dari Bloomberg pada Selasa (5/1/2020) siang, harga biji kedelai untuk kontrak Maret 2021 terpantau naik hingga 0,4 persen ke US$13,1575 per bushel. Sebelumnya, harga biji kedelai sempat bertengger di posisi US$13,495 per bushel, atau level tertinggi sejak Juni 2014 lalu.
Kenaikan yang terjadi pada harga biji kedelai ditopang oleh cuaca ekstrim yang dialami oleh negara-negara utama penghasil biji kedelai dan produk turunannya seperti Argentina dan Brasil.
Analis Komoditas Farms.com Risk management Abhinesh Gopal menjelaskan, Argentina dan Brasil masih menghadapi masalah kekeringan akibat siklus cuaca La Nina sejak akhir 2020 lalu.
“Kondisi Argentina terbilang lebih buruk, tetapi Brasil juga memiliki sejumlah titik-titik kekeringan," jelasnya pada Selasa (5/1/2021).
Selain itu, angka impor biji kedelai dari China juga terus menunjukkan kenaikan. Hal tersebut terjadi seiring dengan ketidakmampuan China mengimbangi permintaan kedelai dalam negeri yang digunakan sebagai pakan ternak.
Baca Juga
Lonjakan permintaan dari China disebabkan oleh pemulihan populasi babi ternak yang lebih cepat dari perkiraan. Sebelumnya, peternakan babi di China tersebut diserang oleh virus flu babi Afrika.
Selain itu, kenaikan harga biji kedelai juga ditopang oleh kekhawatiran pelaku pasar terhadap jumlah cadangan biji kedelai di Amerika Serikat. Pada 12 Januari mendatang, Departemen Agrikultur AS akan melakukan evaluasi bulanan pada neraca perdagangannya.
Analis ever.ag Britt O’Connell mengatakan, kekhawatiran tersebut, ditambah dengan terbatasnya pasokan dari Amerika Selatan, kian memperkuat reli harga biji kedelai dalam beberapa waktu terakhir.
Secara terpisah, Analis Capital Futures Wahyu Laksono mengatakan, selain dari China, faktor cuaca ekstrim yang dialami oleh negara produsen seperti Argentina juga turut mempengaruhi reli harga biji kedelai. Ia menjelaskan, cuaca kering yang terjadi berimbas pada tertundanya proses penanaman kedelai.
Penundaan tersebut, lanjut Wahyu, akan semakin menekan pasokan dan permintaan global yang sudah sangat sempit sebelumnya. Hal ini juga ditambah dengan kondisi perekonomian Argentina yang kurang optimal seiring dengan jatuhnya nilai Peso Argentina.
Ia melanjutkan, negara pengekspor lainnya, Brazil juga belum mampu memenuhi pasokan biji kedelai di pasar global. Hal ini terjadi seiring dengan kecepatan pemulihan ekonomi yang terjadi di China sebagai salah satu importir utama biji kedelai Brazil.
“Ini membuat persediaan biji kedelai Brasil semakin menipis. Di sisi lain, cuaca kering juga menghambat proses penanaman kedelai,” jelasnya saat dihubungi pada Selasa (5/1/2021).
Wahyu menjelaskan, harga kedelai memang sempat anjlok seiring dengan sentimen perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Hal tersebut juga diperburuk dengan pandemi virus corona yang mengganggu pasokan kedelai di seluruh dunia.
Kendati demikian, ia menilai peluang kenaikan harga komoditas ini masih terbuka. Pasalnya, secara fundamental pasar biji kedelai dunia masih terbilang baik.
“Penurunan yang kemarin terjadi membuat pasar kedelai masih terbilang undervalued,” katanya.
Selain itu, prospek permintaan China juga diperkirakan akan tetap terjaga meski menunjukkan sinyal pelemahan. Wahyu memaparkan, terganggunya pasokan jagung yang umumnya menjadi bahan pangan untuk ternak di China membuat pada peternak di Negeri Panda tersebut beralih ke tumbuhan biji-bijian lain, salah satunya kedelai.
Di sisi lain, faktor cuaca di sejumlah negara produsen kedelai juga akan menentukan pergerakan harga kedelai. Kondisi sejumlah negara produsen seperti Brazil dan Argentina yang terdampak siklus cuaca La Nina kemungkinan akan menghambat proses panen raya kedelai meski cuaca di wilayah tersebut mulai kondusif untuk tanaman kedelai.
Tersendatnya panen kedelai akan menyebabkan terjadinya penurunan persediaan komoditas ini di pasar global. Padahal, tingkat permintaan pasar terhadap kedelai saat ini masih cukup tinggi. Hal ini juga ditambah dengan minimnya kegiatan distribusi akibat pandemi virus corona yang membuat sejumlah negara memberlakukan lockdown.
Wahyu mengatakan, pada 2021, harga kedelai akan mengejar level US$15 per bushel setelah menembus level US$12 per bushel.
“Harga biji kedelai juga bisa menguji level tertinggi pada September 2012 di posisi US$17,88 per bushel. Sedangkan level resistance terkuatnya di posisi US$18 per bushel,” katanya.
Hal senada diungkapkan oleh Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi. Ia mengatakan, lonjakan permintaan biji kedelai dari China salah satunya adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pada masa perayaan tahun baru imlek Februari mendatang.
Ibrahim menambahkan, terhambatnya produksi tidak hanya terjadi di wilayah Amerika Selatan, tetapi juga di Amerika Serikat. Hal tersebut terjadi seiring dengan musim dingin yang terjadi pada Negeri Paman Sam tersebut.
“Musim dingin yang terjadi membuat proses penanaman kedelai di Amerika Serikat tidak mungkin dilakukan,” jelasnya.
Di sisi lain, pandemi virus corona yang memburuk juga turut berperan dalam kenaikan harga kedelai. Ia menjelaskan, pandemi yang memburuk membuat beberapa negara kembali melakukan lockdown. Hal ini berimbas pada terhambatnya pengiriman komoditas, termasuk kedelai.
Kenaikan harga biji kedelai juga bersamaan dengan melemahnya indeks dolar AS. Pelemahan tersebut akan memicu penguatan dari lawan mata uang dolar AS, seperti komoditas biji kedelai.
“Hal ini juga yang mempengaruhi harga dan produksi tahu-tempe di Indonesia yang berbahan dasar kedelai,” tambahnya.
Ibrahim memperkirakan, tren penguatan harga kedelai akan berlanjut sepanjang kuartal I/2021 seiring dengan terbatasnya pasokan global. Setelah menembus level US$13 per bushel, harga kedelai dapat mencapai US$14,5 bushel hingga akhir kuartal I tahun ini.
“Setelah itu, kemungkinan harga akan mulai melandai karena negara-negara produsen sudah dapat kembali menanam kedelai. Ini akan menimbulkan oversupply yang menekan harga,” pungkasnya.