Bisnis.com, JAKARTA - Emiten yang bisnisnya berkaitan dengan minyak belum mengambil langkah apapun seiring dengan anjloknya harga minyak mentah cukup dalam hingga sempat menyentuh level minus pada perdagangan Selasa (21/4/2020).
Untuk diketahui, hingga pukul 16.44 WIB harga minyak jenis WTI untuk kontrak Mei 2020 di bursa Nymex diperdagangkan di level -US$3,43 per barel.
Harga itu relatif lebih baik dibandingkan dengan harga pada penutupan perdagangan Senin (20/4/2020), yang untuk pertama kalinya dalam sejarah minyak, harga parkir di area negatif yaitu di level -US$37,63 per barel.
Myrta Sri Utami, Vice President Investment Relation PT Medco Energi Internasional Tbk., mengatakan hingga saat ini perseroan masih mempertahankan biaya produksi di level US$10 per barel meskipun harga minyak mentah global saat ini diperdagangkan di bawah level itu.
Emiten berkode saham MEDC itu pun masih mempertahankan target dan panduannya tahun ini dan belum dapat memberikan keterangan lebih lanjut terkait dampak penurunan harga minyak mentah global terhadap kinerja perseroan.
“Kami belum bisa menyampaikan lebih dari apa yang pernah kami sampaikan sebelumnya, termasuk didalamnya efisiensi dan produksi,” ujar Myrta kepada Bisnis, Selasa (21/4/2020).
Baca Juga
Adapun, saat harga minyak pertama kali menyentuh level di bawah US$30 per barel pada pertengahan Maret 2020, perseroan telah terlebih dahulu memangkas alokasi belanja modal atau capital expenditure (capex) dan target produksi.
Perseroan telah memangkas belanja modal tahun ini yang semula sebesar US$340 juta menjadi hanya sebesar US$240 juta karena prospek pelemahan permintaan minyak dalam beberapa kuartal ke depan.
Adapun, dari belanja modal yang baru itu sebesar US$180 juta dialokasikan untuk segmen minyak dan gas, sedangkan US$60 juta untuk segmen listrik. Lebih lanjut, dari total belanja modal di segmen minyak dan gas, sebanyak US$117 juta untuk proyek PSC (Production Sharing Contract) US$21 juta untuk proyek non-PSC, dan US$42 juta untuk biaya eksplorasi.
MEDC juga memangkas target produksi yang semula sebesar 110 ribu barel oil equivalent per day (boepd), menjadi di kisaran 100-105 ribu boepd, yang terdiri atas produksi minyak di kisaran 33-38 ribu boepd dan produksi gas di kisaran 67 ribu boepd.
Penurunan produksi di atas 5 ribu boepd itu berpotensi berlanjut hingga tahun depan jika permintaan minyak mentah global masih menunjukan adanya kontraksi.
Namun, Myrta memastikan bahwa emiten dengan kapitalisasi pasar hingga Rp6,52 triliun itu tetap memiliki likuiditas yang cukup kuat. Perseroan masih memiliki kas setara kas sekitar US$1,2 miliar dan dana yang masih tersimpan sekitar US$250 juta.
Sementara itu, Direktur PT AKR Corporindo Tbk. (AKRA) Suresh Vembu mengatakan bahwa perseroan masih mempertahankan target dan rencana ekspansi perseroan yang telah ditetapkan pada awal tahun.
“Kami belum mengubah rencana apa pun dan belum dapat memberikan panduan saat ini. Kami akan terus memantau situasi yang berkembang,” ujar Suresh kepada Bisnis.
Suresh pun mengklaim tidak mengalami dampak yang signifikan dari anjloknya harga minyak karena tidak dalam posisi long atau beli terhadap perdagangan minyak berjangka, melainkan hanya melakukan perdagangan di pasar spot.
Bahkan, permintaan terhadap bahan bakar minyak (BBM) dinilai tidak mengalami penurunan. Mengutip laporan penjualan kuartal I/2020, AKRA berhasil mencatatkan volume penjualan sebesar 685.000 kilo liter, lebih tinggi 42 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu hanya sebesar 480.000 kilo liter.
Namun, perolehan itu turun tipis jika dibandingkan dengan kuartal IV/2019 yang berhasil mencatatkan volume penjualan minyak hingga 691.000 kilo liter. Selain itu, perseroan juga telah menyalurkan BBM bersubsidi sebanyak 26.000 kilo liter pada kuartal pertama tahun ini.
“Perolehan volume penjualan pada kuartal pertama tahun ini didukung oleh permintaan dari sektor tambang batu bara dan beberapa pasar umum lainnya. Permintaan dari sektor tambang batu bara dalam negeri termasuk yang di Kalimantan masih cukup tinggi dan sampai saat ini pun belum ada perubahan,” ujar Suresh.
Dengan pencapaian tersebut pun, Suresh mengaku pihaknya sangat optimistis target volume penjualan minyak tahun ini di kisaran 2,35 juta hingga 2,4 juta kilo liter dapat tercapai di tengah sentimen penyebaran Covid-19 yang diproyeksi dapat melemahkan permintaan minyak.
Kendati demikian, perseroan memperkirakan adanya pergeseran permintaan dari sektor ritel ke industri pada kuartal kedua tahun ini seiring dengan larangan mudik pada lebaran tahun ini, sehingga permintaan lebih banyak berasal dari tambang batu bara yang sampai saat ini masih berjalan normal.
Berbeda dengan dua emiten di atas, Head of Corporate Communication PT Elnusa Tbk. (ELSA) Wahyu Irfan memastikan bahwa perseroan akan melakukan perubahan terhadap target pertumbuhan dan alokasi belanja modal untuk menyesuaikan kondisi makro saat ini.
“Kami sedang mengkaji berbagai dampak makro ini, termasuk di dalamnya penyesuaian target keuangan maupun capex,” ujar Wahyu saat dihubungi Bisnis.
Pada awal tahun ini, ELSA menargetkan pertumbuhan pendapatan usaha berkisar Rp9,1 triliun atau naik 8 persen dari realisasi 2019. Sementara itu, laba bersih konsolidasi 2020 diharapkan mencapai Rp400 miliar.
Perseroan pun tampak akan cukup agresif berekspansi dan mengalokasi belanja modal sebesar Rp1,4 triliun dengan rincian sekitar 69 persen dari total belanja modal untuk membiayai investasi pertumbuhan, sebesar 12 persen akan digunakan mempertahankan kapasitas, dan sebesar 19 persen untuk lainnya.
Adapun, capex tersebut jauh lebih tinggi 105,8 persen daripada realisasi belanja modal perseroan pada 2019 yang hanya mencapai Rp680 miliar.
Di sisi lain, ketiga saham emiten minyak itu kompak parkir di zona merah pada perdagangan Selasa (21/4/2020). Penurunan terbesar adalah saham MEDC yang terkontraksi hingga 6,85 persen ke level Rp408.
Kemudian, diikuti oleh saham ELSA yang melemah 5,67 persen ke level Rp183 dan saham AKRA yang menurun 4,83 persen ke level Rp1.775.