Bisnis.com, JAKARTA -- Kekurangan pasokan timbal yang tidak terduga telah membantu harga logam yang digunakan sebagai bahan aki mobil tersebut untuk mengungguli kinerja logam lainnya seperti tembaga, aluminium, dan seng.
Secara keseluruhan, harga logam industri berada di bawah tekanan akibat sengketa perdagangan antara AS dan China, dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia, yang telah membebani pertumbuhan ekonomi dunia, aktivitas industri, dan permintaan logam.
Namun, timbal berhasil melawan arus tren pelemahan tersebut dan menjadi salah satu logam yang bergerak di zona hijau bersama dengan nikel. Meski, pada penutupan perdagangan Jumat (18/10/2019), timbal di bursa LME memang ditutup melemah 0,37 persen menjadi US$2.181 per ton.
Berdasarkan data Bloomberg, sepanjang tahun berjalan 2019, harga timbal telah menguat 7,92 persen dan menjadi kinerja terkuat kedua di antara logam dasar lainnya. Timbal hanya berada di bawah nikel yang berhasil naik 51,82 persen.
Sementara itu, tembaga telah melemah 2,67 persen, aluminium melemah 5,85 persen, dan seng melemah 0,41 persen.
Analis Wood Mackenzie Faird Ahmed mengatakan timbal berhasil reli hingga mencapai level tertingginya dalam 15 bulan terakhir dan bergerak di atas US$2.200 per ton, didukung oleh smelter timbal Port Pirie Nyrstar di Australia yang menghentikan produksinya pada Mei 2019.
Dalam laporan produksi Nyrstar teranyar, produksi timbal pada paruh pertama tahun ini menurun 27 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, menjadi 51.000 ton.
Analis memperkirakan Port Pirie hanya akan memproduksi 90.000 ton timah tahun ini, lebih rendah dibandingkan dengan produksi tahun lalu yang mencapai 160.000 ton.
Tekanan lainnya datang dari aksi mogok di smelter Belledune milik Glencore di Kanada, yang berlangsung sejak April 2019. Smelter yang telah menghasilkan 76.000 ton timbal pada tahun lalu itu diprediksi hanya menghasilkan 50.000 ton timbal pada 2019.
Kendati demikian, Faird menyampaikan saat ini, timbal telah memasuki masa transisi dari semula diproyeksi mengalami defisit pasokan hingga 4 tahun ke depan menjadi surplus pasokan hingga 5-6 tahun mendatang.
Baca Juga
Pihaknya telah menurunkan proyeksi konsumsi logam sepanjang tahun berjalan karena perang dagang AS-China yang berlarut-larut.
“Meskipun terdapat sentimen yang berasal dari Port Pirie, kami melihat pasar bergerak ke surplus sehingga akan menekan harga timbal, walaupun tidak membuat harga jatuh signifikan,” paparnya seperti dilansir Reuters, Senin (21/10).
Faird memperkirakan harga timbal bergerak di rata-rata US$2.000 per ton pada tahun depan dan berada di kisaran US$1.900 per ton pada tahun-tahun berikutnya.
Senada, Analis CRU Neil Hawkes menyatakan =tahun ini akan menjadi tahun surplus bagi pasar timbal karena gangguan pasokan dari beberapa smelter diimbangi oleh permintaan yang lebih lemah akibat perang dagang.
“Kami sekarang memperkirakan defisit timbal sebesar 50.000 ton tahun ini, tetapi angka tersebut akan bergantung pada apakah operasional Port Pirie akan segera kembali atau tidak,” terangnya.
Secara historis, timbal dianggap sebagai logam yang tahan resesi karena pada musim dingin umumnya permintaannya meningkat. Pasalnya, banyak aki yang perlu diganti pada musim tersebut dan kecenderungan masyarakat untuk mengganti aki mobil ketimbang membeli mobil baru.
Oleh karena itu, penjualan mobil global yang melambat dan telah turun 3 persen pada tahun ini sesungguhnya tidak akan mengganggu permintaan timbal.
Beberapa analis pun memprediksi permintaan timbal tetap tidak berubah atau menyusut tahun ini, dan menjadi yang pertama kali sejak krisis keuangan pada 2008. Permintaan timbal global diperkirakan bertahan di sekitar 12 juta ton.
Selain itu, stok timbal di gudang yang dilacak oleh London Metal Exchange berada di bawah 70.000 ton dan turun hampir 20 persen sejak 1 Agustus 2019. Hal tersebut menunjukkan pasokan gagal memenuhi permintaan sehingga menggunakan stok persediaan di gudang.