Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) menilai perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan kebun buah komersial di Filipina telah mencabut akar masyarakat adat dan komunitas pedesaan dari tanah mereka, meskipun terdapat hukum untuk melindungi komunitas tersebut.
Global Witness yang berbasis di Inggris menyatakan bisnis yang kuat, pejabat korup, dan kelompok paramiliter memicu kekerasan terhadap masyarakat pedesaan di Filipina.
“Bisnis dari batu bara ke agribisnis, dari penambangan hingga pariwisata, dibiarkan merajalela dan merusak kehidupan orang-orang Filipina,” kata Ben Leather, seorang juru kampanye senior di Global Witness, dalam sebuah laporan yang dilansir Reuters, Rabu (25/9/2019).
Menurutnya, perusahaan-perusahaan internasional masih tidak melakukan uji kelayakan yang tepat untuk menghindari konflik.
“Khususnya di negara-negara seperti Filipina, saat UU yang melindungi tanah dan hak masyarakat adat seringkali tidak ditegakkan,” ujar Leather.
Pada awal tahun ini, kelompok HAM tersebut menyatakan Filipina adalah yang paling mematikan di dunia untuk aktivis hak tanah pada 2018, dengan angka pembunuhan yang melonjak di bawah kepemimpinan Presiden Rodrigo Duterte. Mereka menyebutkan setidaknya ada 12 aktivis hak tanah yang terbunuh di Pulau Palawan sejak 2004, saat mencoba mencegah penebangan kayu ilegal untuk membangun hotel--di mana banyak dari hotel-hotel itu terkait dengan politisi.
Baca Juga
Di Provinsi Bukidnon di Mindanao Utara, pemasok untuk Del Monte dikaitkan dengan kekerasan terhadap penduduk asli yang tanahnya diambil paksa untuk perkebunan nanas. Hal ini dibantah oleh perusahaan makanan asa AS itu.
“Del Monte Filipina dengan tegas menyangkal laporan itu ... menyiratkan perilaku bisnis yang tidak pantas. Del Monte dengan penuh semangat mempromosikan kesejahteraan para pemangku kepentingan di seluruh rantai pasokan globalnya dan meminta para mitranya untuk melakukan hal yang sama,” demikian pernyataan pihak Del Monte.
Secara global, masyarakat adat dan lokal memiliki lebih dari setengah dari semua tanah di bawah hak adat atau tradisional. Namun, menurut kelompok advokasi yang berbasis di Washington, Rights and Resources Initiative, mereka memiliki hak hukum hanya sekitar 10 persen.
Human Rights Watch (HRW) yang bermarkas di New York menyebutkan di Indonesia, UU yang lemah, pengawasan pemerintah yang buruk, dan kegagalan petani kelapa sawit untuk menegakkan HAM telah menghancurkan tanah adat di Kalimantan Barat dan Jambi.
Laporan HRW yang diterbitkan pada Senin (23/9), mengemukakan antara 2001-2017, Indonesia selaku produsen minyak kelapa sawit utama dunia telah kehilangan 24 juta hektare (ha) tutupan hutan, suatu wilayah yang kira-kira seluas Inggris.
Para pencinta lingkungan menyalahkan sebagian besar hilangnya hutan dan kebakaran yang menyebabkan asap pada pembukaan lahan untuk menanam kelapa sawit, yang digunakan untuk memasak dan dalam barang-barang seperti sabun dan sampo, makanan ringan, pizza, roti, dan biodiesel.
“Konflik yang berkaitan dengan tanah sering dikaitkan dengan perkebunan kelapa sawit [yang] telah berdampak buruk terhadap hak masyarakat adat atas hutan, mata pencaharian, makanan, air, dan budaya mereka di Indonesia,” papar HRW.
Masyarakat adat pun dinilai akan terus menanggung beban dampak perkebunan kelapa sawit.
Pengawas industri minyak sawit, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), yang telah berkomitmen untuk mengatasi deforestasi, mengklaim tidak ada perusahaan yang menjadi anggota. Presiden Indonesia Joko Widodo telah berjanji untuk mengembalikan 12,7 juta ha tanah kepada masyarakat adat setelah pada 2013, ada keputusan pengadilan untuk mengakhiri kontrol negara atas hutan adat.
Pada Juni 2019, pihak berwenang mengatakan moratorium pembukaan hutan baru untuk perkebunan kelapa sawit atau operasi penebangan--yang telah diperpanjang sejak 2011--akan menjadi permanen.
Peneliti HRW Juliana Nnoko-Mewanu menyampaikan wabah kebakaran hutan dalam beberapa pekan terakhir, menyoroti kemajuan yang tidak merata.
"Kebakaran berkobar di latar belakang sistem yang lebih besar yang memfasilitasi perampasan hak tanah adat serta merupakan ancaman lain bagi masyarakat adat dan hutan leluhur mereka," tegasnya.