Bisnis.com, JAKARTA—Kinerja keuangan PT Elnusa Tbk yang cukup gemilang pada semester I/2018 dan valuasi harga saham emiten yang masih relatif murah belum mampu mendongkrak harga emiten dengan ticker ELSA tersebut.
Pada penutupan perdagangan sore ini (30/8), harga saham ELSA melemah tipis 8 poin menuju Rp368 dari hari sebelumnya di level Rp376. Secara year-to-date harga saham ELSA juga turun 1,08%, bahkan underperform dari indeks sektor pertambangan yang membukukan pertumbuhan 25,81% (ytd).
ELSA mencetak kinerja yang cukup baik semester I/2018 dengan pendapatan yang tumbuh 47% menjadi Rp2,91 triliun dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2017 sebesar Rp1,99 triliun. Segmen bisnis downstream menopang kinerja semester I/2018 sebesar Rp1,63 triliun atau tumbuh 50% (yoy), kemudian segmen upstream menyumbang sebesar Rp1,15 triliun atau meningkat 42% dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp816 miliar.
Adapun, segmen support berkontribusi Rp126 miliar atau naik 53% (yoy) dan segmen production and operation maintenance services (POMS) dan geological and geophysical reservoir services masing-masing berkontribusi sebesar Rp845 miliar dan Rp305 miliar.
Seiring dengan pendapatan yang meningkat, beban pokok pendapatan ELSA semester I/2018 juga naik 43% (yoy) menjadi Rp2,61 triliun. Laba bersih ELSA pada paruh pertama 2018 melonjak tajam 784% mencapai Rp127,66 miliar dari periode yang sama tahun 2017 hanya sebesar Rp14,44 miliar.
Di sisi lain, ELSA juga maraup kontrak carry foward jasa minyak dan gas (migas) sebesar Rp4,07 triliun per Juli 2018 dan mayoritas kontrak berasal dari Grup PT Pertamina (Persero).
Valuasi harga saham ELSA masih relatif murah dengan foward P/E ratio sebesar 10,75 kali dan bahkan sangat undervalue dari valuasi indeks sektor pertambangan yang memiliki foward P/E ratio 253,48 kali.
Kendati dalam tekanan, secara teknikal peluang ruang gerak ELSA untuk menguat masih ada tetapi sangat terbatas. Terjadi death cross di mana MA 50 memotong dan menuju ke bawah kurva MA 200 yang memberikan sinyal pergerakan berpotensi ke arah bearish.
Sumber: Bloomberg
*) Dyah Ayu Kartika, analis Bisnis Indonesia Resources Center