Bisnis.com, JAKARTA—Setelah sempat menguat pekan lalu, minggu ini tampaknya harga tembaga bakal tergerus di tengah kekhawatiran pasar terhadap perlambatan ekonomi Amerika Serikat dan China.
Pengamat komoditas yang juga mantan peneliti di Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) Ibrahim menilai tembaga bisa terdepresiasi ke level US$6.481,20 di London Metal Exchange (LME) dalam sepekan ini.
“Kemarin kenaikan sudah terlalu tinggi jadi wajar kalau sekarang turun. Untuk sepekan ini harganya akan cenderung turun,” kata Ibrahim saat dihubungi Bisnis.com, Senin (7/4/2014).
Menurutnya faktor utama yang membuat harga tembaga jatuh adalah sinyal perlambatan pertumbuhan ekonomi di AS dan China yang kian kuat. Terlebih setelah rilis data nonfarm payrolls AS akhir pekan lalu yang di bawah proyeksi analis.
Tetsu Emori, fund manager dari Astmax Asset Management, seperti dikutip dari Bloomberg, mengatakan perlambatan nonfarm payrolls di AS makin menguatkan kekhawatiran pasar terhadap perlambatan permintaan.
Pasalnya AS dan China adalah dua negara konsumen terbesar tembaga di dunia. Perlambatan data ekonomi di kedua negara tersebut membuat pasar khawatir outlook permintaan tembaga bakal turut terpuruk.
Sebagai catatan, peningkatan jumlah pekerja di sektor nonpertanian AS sepanjang Maret hanya mencapai 192.000 orang. Jumlah tersebut cukup jauh di bawah konsensus analis sebesar 200.000 pekerja. Adapun tingkat pengangguran tetap berada di kisaran 6,7%.
Namun demikian, secara teknikal, Ibrahim menilai tembaga punya potensi menguat pada kuartal II/2014 ini, tetapi kenaikan itu terbatas. Level US$6.800 akan menjadi level terbaik untuk tembaga jika logam industri itu benar-benar menguat nantinya.
Di tengah proyeksi penurunan permintaan, data dari International Copper Study Group justru menunjukkan prediksi lonjakan produksi tembaga murni sepanjang 2014.
Menurut lembaga tersebut volume pasokan tembaga bakal lebih besar 400.000 ton dibandingkan dengan jumlah permintaannya. Harga tembaga ada di kisaran US$6.500-an dan sempat menyentuh US$6.577 per ton pada perdagangan kemarin.