Bisnis.com, JAKARTA — Penguatan indeks harga saham gabungan (IHSG) menembus level 7.600 turut didorong oleh sejumlah saham emiten yang terafiliasi dengan para konglomerat Tanah Air, seperti Anthoni Salim, Toto Sugiri, dan Prajogo Pangestu.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG sudah naik 7,55% secara year-to-date (YtD) ke posisi 7.614,76 pada akhir perdagangan Senin (28/7/2025). Secara sektoral, indeks IDX Technology paling kinclong dengan lonjakan 124,06%, disusul indeks IDX Infrastructure yang naik 31,25% dan IDX Basic Materials menguat 31,23% sejak awal tahun ini.
Ditelisik lebih lanjut, tenaga IHSG dimotori oleh sejumlah saham emiten yang terafiliasi dengan para konglomerat Tanah Air yang menjadi top leaders alias saham pendorong indeks komposit secara YtD.
Posisi teratas daftar top leaders IHSG ditempati oleh saham PT DCI Indonesia Tbk. (DCII) yang terafiliasi dengan konglomerat Anthoni Salim dan Toto Sugiri. Saham emiten data center itu sudah melonjak 723,57% secara YtD dan menyumbang kenaikan IHSG sebesar 355,02 poin.
DCII juga mengukuhkan posisi sebagai saham dengan nilai paling mahal di BEI. Hingga kemarin, saham DCII dibanderol Rp346.725 per saham atau Rp34,67 juta per lot.
Di belakang DCII, ada saham PT Dian Swastatika Sentosa Tbk. (DSSA) di posisi kedua dan PT Sinarmas Multiartha Tbk. (SMMA) di posisi keempat jajaran top leaders IHSG. Keduanya merupakan emiten di bawah naungan Grup Sinar Mas milik keluarga Widjaja. Saham DSSA tercatat melesat 78,11% dan SMMA naik 47,26% sejak awal tahun ini.
Saham konglomerat yang juga berkontribusi besar terhadap penguatan IHSG sepanjang tahun berjalan 2025 ialah milik emiten yang terafiliasi dengan pemilik Grup Barito Pacific, Prajogo Pangestu.
Tak tanggung-tanggung, tiga saham afiliasi Prajogo Pangestu masuk jajaran top leaders IHSG YtD. Tiga saham itu ialah PT Barito Pacific Tbk. (BRPT) yang meroket 168,48%, PT Chandra Daya Investasi Tbk. (CDIA) terbang 863,16%, dan PT Chandra Asri Pacific Tbk. (TPIA) melonjak 25,67% secara YtD.
Riset Union Bank of Switzerland (UBS) menyebutkan BRPT memiliki prospek cerah di sektor energi terbarukan serta petrokimia berkat entitas anak PT Barito Renewables Energy Tbk. (BREN) dan PT Chandra Asri Pacific Tbk. (TPIA).
Analis UBS Timothy Handerson dan Warayut Luangmettakul menyatakan posisi BREN sebagai pemain terbesar di industri energi terbarukan Indonesia, dengan kapasitas 965 MW pada 2024, akan berkontribusi positif terhadap BRPT.
“Kami menilai prospek pertumbuhan BRPT kuat seiring target perseroan untuk mencapai kapasitas 1,8-2,4 GW pada 2027 hingga 2032, yang akan didorong oleh proyek panas bumi ataupun angin,” ujarnya dikutip Selasa (29/7/2025).
Dari sisi petrokimia, anak usaha BRPT yakni TPIA juga masih menjadi produsen terbesar di Indonesia dengan kapasitas produksi mencapai 4,2 juta ton per tahun. Namun, profitabilitas segmen ini sempat tertekan dua hingga tiga tahun terakhir akibat kelebihan pasokan global, khususnya dari ekspansi masif di China.
UBS memperkirakan perbaikan bertahap akan terjadi dalam siklus petrokimia global, yang didorong oleh melambatnya ekspansi kapasitas di China, pemulihan permintaan global, serta volatilitas akibat faktor geopolitik.
Investment Analyst Infovesta Utama Ekky Topang menjelaskan secara umum, saham-saham emiten konglomerasi menjadi penopang IHSG dalam fase bullish.
“Sentimen positif turut didorong oleh peluang masuknya kembali beberapa saham konglomerasi ke dalam indeks MSCI, yang memperkuat ekspektasi investor,” kata Ekky, Jumat (18/7/2025).
Selain itu, lanjutnya, prospek bisnis emiten konglomerasi masih solid, mengingat banyaknya sektor strategis yang mereka garap, mulai dari ritel, properti, tambang, hingga transportasi.
Ekky juga menyebut pemulihan konsumsi dan investasi dalam negeri menjadi katalis penting bagi peningkatan kinerja multi-sektor tersebut, seiring dengan membaiknya likuiditas pasar akibat ekspektasi pemangkasan suku bunga.
Di sisi lain, menurutnya, beberapa saham konglomerasi juga masih memiliki valuasi yang relatif murah, karena belum sepenuhnya pulih sejak koreksi tahun lalu.
“Tak hanya itu, potensi aksi korporasi seperti IPO anak usaha, spin-off, atau merger strategis juga bisa menjadi pendorong kenaikan valuasi dalam jangka menengah,” tutur Ekky.
Namun, lanjutnya, tantangan bagi emiten-emiten tersebut tetap ada. Tantangan tersebut seperti struktur usaha yang kompleks dalam konglomerasi, terkadang akan menimbulkan ketidaksesuaian antara pertumbuhan pendapatan anak usaha dengan laba bersih induk.
Selain itu, praktik tata kelola perusahaan dan keterbukaan informasi masih menjadi sorotan, terutama bagi grup yang memiliki banyak entitas anak yang tidak tercatat di bursa.
Sentimen selektif terhadap sektor tertentu dalam portofolio konglomerasi, seperti properti atau logistik, menurutnya juga bisa mempengaruhi persepsi pasar terhadap keseluruhan entitas holding-nya.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.