Bisnis.com, JAKARTA – Rencana pemerintah mengimplementasikan bahan bakar nabati (BBN) jenis biodiesel 50 (B50) pada 2026 dinilai menjadi pendorong kinerja emiten sawit dalam negeri.
Pengamat Pasar Modal Panin Sekuritas Reydi Octa menilai kebijakan biodiesel B40 yang telah dijalankan pemerintah sejak awal 2025 telah memberikan penguatan permintaan domestik terhadap CPO.
“Bahkan, jika rencana B50 berjalan pada 2026, peningkatan permintaan lokal bisa makin signifikan,” kata Reydi saat dihubungi, Minggu (20/7/2025).
Prospek positif emiten sawit dinilai telah tercermin sejak kuartal I/2025. Menurut Reydi, sebagian besar emiten sawit mencatatkan pertumbuhan pendapatan dan laba bersih.
TAPG misalnya mencatatkan pertumbuhan laba bersih yang melesat 117,16% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp805,25 miliar pada kuartal I/2025, dibandingkan laba bersih pada periode yang sama tahun sebelumnya Rp370,8 miliar.
Entitas Grup Astra di sektor perkebunan, PT Astra Agro Lestari Tbk. (AALI) juga mencatatkan pertumbuhan laba 20,17% yoy menjadi Rp277,03 miliar per kuartal I/2025, dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya Rp230,52 miliar.
Baca Juga
Kendati implementasi B50 baru diproyeksikan berjalan pada 2026, tetapi Reydi menilai bahwa 2025 bakal menjadi tahun yang penuh keberuntungan bagi emiten sawit dalam negeri.
“Secara umum, 2025 berpotensi menjadi tahun yang solid bagi sektor sawit, terutama di paruh pertama, berkat harga CPO yang tinggi dan dorongan dari permintaan biodiesel dalam negeri,” tambah dia.
Senada, Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Liza Camelia juga berpendapat bahwa rencana peningkatan program penggunaan biodiesel akan berpengaruh positif bagi emiten sawit.
Salah satunya, hal itu dapat meningkatkan penyerapan CPO domestik hingga 1,5–2 juta kiloliter, yang pada gilirannya mampu mengurangi ketergantungan emiten sawit dalam negeri terhadap pasar ekspor.
Adapun saat ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah dalam rencana membangun 5 pabrik biodiesel untuk mengimplementasikan bahan bakar nabati (BBN) biodiesel 50 (B50) pada 2026.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengatakan, dari 5 pabrik baru yang ditargetkan, saat ini sudah ada 3 pabrik yang sedang dibangun.
“Emiten seperti SSMS, TBLA, dan SIMP yang terlibat dalam hilirisasi biodiesel akan menjadi penerima manfaat langsung,” kata Liza.
Selain itu, Liza menerangkan, sejumlah perjanjian dagang antara Indonesia dengan AS hingga Uni Eropa juga berpotensi mengerek kinerja positif emiten sawit. Terlebih lagi, terhadap AS, Indonesia hanya terkena tarif sebesar 19%.
Angka itu dinilai bakal berbuah positif bagi ekspor sawit Indonesia ke AS dibandingkan Malaysia yang dikenakan tarif sebesar 25% terhadap AS. Begitu juga dengan perjanjian IEU–CEPA yang tidak memberikan tarif terhadap ekspor Indonesia ke negara Uni Eropa.
“Perjanjian IEU–CEPA membuka peluang penghapusan tarif ekspor CPO ke Eropa hingga 0%, yang akan memperkuat daya saing Indonesia terhadap Malaysia dalam jangka menengah,” lanjutnya.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.