Bisnis.com, JAKARTA - Harga emas terkoreksi seiring dengan keputusan Federal Reserve AS mempertahankan suku bunga acuannya, sesuai dengan ekspektasi pasar.
Mengutip Reuters pada Kamis (30/1/2025), harga emas di pasar spot turun 0,4% menjadi US$2,753.86 per ounce. Sementara itu, harga emas berjangka AS naik tipis 0,1% pada US$2,779.80, memperluas premi dibandingkan harga emas spot.
Adapun, nilai dolar AS naik 0,3%, menjadikan emas mahal bagi pemegang mata uang lainnya, sedangkan imbal hasil obligasi Treasury AS bertenor 10 tahun meningkat. Hal tersebut membuat emas yang tidak memberikan imbal hasil menjadi kurang menarik.
“Pasar aset sedikit bocor setelah pernyataan tersebut sedikit lebih hawkish dari perkiraan dan harga emas sedikit lebih rendah,” kata Tai Wong, pedagang logam independen.
The Fed mempertahankan suku bunga tetap dan tidak memberikan banyak informasi mengenai kapan pengurangan biaya pinjaman lebih lanjut mungkin terjadi dalam perekonomian yang inflasinya tetap di atas target, pertumbuhan terus berlanjut, dan tingkat pengangguran rendah.
Keputusan untuk mempertahankan suku bunga kebijakan tetap stabil telah diantisipasi secara luas setelah penurunan suku bunga tiga kali berturut-turut pada tahun 2024 yang menurunkan suku bunga acuan The Fed sebesar satu poin persentase penuh.
Baca Juga
“Kemungkinan ada penegasan independensi The Fed pada tingkat tertentu mengingat permintaan Presiden Trump untuk menurunkan suku bunga,” kata Peter Grant, wakil presiden dan ahli strategi logam senior di Zaner Metals.
"Tetapi saya pikir jalur kebijakan sebagian besar masih tidak berubah. Jadi dalam hal ini, penurunan suku bunga mungkin akan tertahan hingga pertengahan tahun."
Harga Batu Bara
Sementara itu, harga batu bara kontrak Februari 2025 di ICE Newcastle naik 1,13% ke level US$116,05 per metrik ton. Sementara itu, harga batu bara kontrak Maret 2025 menguat 1,69% ke level US$120 per metrik ton.
Laporan Tim ekonom Bank Dunia, Paolo Agnolucci, Matias Guerra Urzua dan Nikita Makarenko, menyebut, harga batu bara thermal kemungkinan akan turun pada 2025 dan 2026 karena konsumsi global yang lebih rendah.
Bank Dunia mengatakan, konsumsi batu bara thermal global diperkirakan akan menurun pada 2025 dan semakin menyusut pada 2026, menyusul kenaikan sebesar 1% pada enam bulan pertama tahun 2024
Mereka menyebut, permintaan listrik tambahan di China, konsumen batu bara terbesar di dunia, sebagian besar dipenuhi oleh energi terbarukan dan pembangkit listrik tenaga air, sementara India mendorong peningkatan konsumsi batu bara global pada paruh pertama tahun 2024.
"Konsumsi batu bara global diperkirakan akan sedikit menurun pada 2025, dan terus menurun pada 2026, seiring dengan semakin cepatnya peralihan ke energi terbarukan dan gas alam untuk pembangkit listrik, sehingga menggantikan batubara," jelas laporan tersebut.
Tim peneliti Bank Dunia melihat adanya penurunan harga batu bara thermal sebesar 12% pada 2025 dan 2026. Saat ini, harga batu bara termal Newcastle berada pada kisaran US$114,55 per ton.
Harga CPO
Sementara itu, harga komoditas minyak kelapa sawit atau CPO berjangka pada penutupan perdagangan Selasa (28/1/2025) kontrak Februari 2025 menguat 24 poin ke 4.533 ringgit per ton di Bursa derivatif Malaysia. Kemudian, kontrak Maret 2025 juga menguat 44 poin pada level 4.394 ringgit per ton.
Adapun, perdagangan di Bursa Derivatif Malaysia Libur pada 29-30 Januari 2025 karena perayaan Tahun Baru Imlek.
"Bursa Malaysia dan anak perusahaannya akan kembali beroperasi pada 31 Januari 2025," jelas pengumuman pada laman resmi Bursa Malaysia.
The Malaysian Palm Oil Council (MPOC) memperkirakan harga CPO akan berada di kisaran 4.250 dan 4.550 ringgit per ton pada kuartal I/2025 seiring dengan persediaan yang rendah, permintaan yang stabil, dan terbatasnya pasokan minyak nabati lainnya.
Sementara itu, musim hujan yang telah mengganggu kegiatan panen, mulai mereda, hari libur umum pada bulan Januari diantisipasi akan mengurangi hari kerja.
Dalam pernyataannya, MPOC menyebut hal ini konsisten dengan level historis yang tercatat pada 2018, 2019, dan 2023. MPOC memperkirakan faktor musiman akan semakin membatasi produksi dan meningkatkan konsumsi hingga Februari, termasuk berkurangnya hari kerja karena hari libur umum, dan permintaan hari raya yang didorong oleh Tahun Baru Imlek dan Ramadan.
MPOC menyebut, persediaan CPO Malaysia turun di bawah rata-rata jangka panjang pada akhir 2024, yaitu sebesar 1,71 juta ton.
"Penurunan didorong oleh musim hujan, penurunan tajam impor, dan permintaan domestik yang melebihi produksi," jelas MPOC.
Pada Desember 2024, produksi minyak sawit Malaysia turun 8,3% secara bulanan dan 4,2% secara tahun ke tahun (year on year/yoy), sedangkan ekspor turun 9,9% secara bulanan menjadi 1,34 juta ton.
"Persediaan kemungkinan akan tetap di bawah rata-rata, berkisar sekitar 1,7 juta ton pada kuartal I/2025, sebelum musim puncak produksi dimulai," jelas MPOC.