Bisnis.com, JAKARTA — Mata uang rupiah melemah ke posisi Rp16.283 per dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan Senin (13/1/2025).
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah mengakhiri perdagangan hari ini dengan melemah 0,57% atau 93 poin ke level Rp16.283 per dolar AS. Pada saat yang sama, indeks dolar AS terpantau naik 0,16% ke posisi 109,82.
Sementara itu, sejumlah mata uang di Asia lainnya ditutup bervariatif terhadap dolar AS. Yen Jepang dan dolar Hong Kong masing-masing menguat 0,14% dan 0,02%.
Selain itu, won Korea Selatan dan yuan China masing-masing menguat 0,24% dan 0,01% per dolar as.
Di sisi lain, dolar Singapura dan dolar Taiwan masing-masing melemah 0,09% dan 0,45%. Selanjutnya, peso Filipina dan rupee India turut mencatatkan pelemahan masing-masing 0,58% dan 0,63%.
Seperti diberitakan sebelumnya, dolar Amerika Serikat masih kokoh di level tertinggi 14 bulan usai rilis data tenaga kerja AS pekan lalu.
Berdasarkan data Bloomberg, indeks dolar AS yang melacak pergerakan greenback terhadap sejumlah mata uang utama menguat ke level 109,67 pagi ini, mendekati level terkuat sejak November 2022.
Laporan ketenagakerjaan AS yang lebih kuat dari perkiraan mendorong imbal hasil obligasi ke puncak baru, memberikan tekanan pada valuasi pasar saham di tengah dimulainya musim laporan laba perusahaan.
Ekspektasi pasar terhadap pemotongan suku bunga Federal Reserve semakin memudar, kini hanya tersisa 27 basis poin untuk 2025, dengan suku bunga terminal diproyeksikan mencapai 4,0% — jauh lebih tinggi dari harapan 3,0% yang berlaku tahun lalu.
Pekan lalu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan data tenaga kerja nonfarm payroll naik 256.000 pekerjaan pada Desember 2024, angka tertinggi sejak Maret.
Data tenaga kerja ini melampaui ekspektasi hampir semua ekonom dalam survei Bloomberg. Adapun tingkat pengangguran turun ke 4,1%, dan upah rata-rata naik 0,3% dibandingkan bulan sebelumnya.
Sepanjang 2024, AS menambah 2,2 juta lapangan pekerjaan, lebih rendah dari pencapaian 2023 sebesar 3 juta tetapi tetap lebih tinggi dari 2 juta pekerjaan yang tercipta pada 2019.
"Data yang begitu kuat membuat kami memperkirakan hanya satu kali pemotongan suku bunga oleh Fed pada Juni, sebesar 25 basis poin," ujar kepala riset ekonomi Barclays Christian Keller.
Dia menambahkan bahwa perlambatan ekonomi dalam beberapa bulan mendatang dan penurunan inflasi pada paruh pertama tahun ini dapat mendukung keputusan tersebut.
Kenaikan imbal hasil obligasi 10 tahun ke puncak 14 bulan di 4,79% mencerminkan sentimen hawkish. Saat ini, imbal hasil tersebut diperdagangkan sedikit lebih rendah di 4,764% di Asia.