Bisnis.com, JAKARTA — Prospek pasar obligasi di Indonesia diproyeksikan akan positif pada 2025 sejalan dengan tren penurunan suku bunga acuan dan defisit APBN yang terjaga di bawah 3% terhadap PDB.
Pengamat dan Praktisi Pasar Modal Hans Kwee berpendapat obligasi Indonesia akan cukup menarik dan positif pada tahun depan. Merujuk data PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI), hingga 8 Desember 2024, Indonesia Composite Bond Index (ICBI) naik 4,77% ke posisi 392,6320.
Pada saat yang sama, INDOBeX Government Total Return naik 4,6% dan INDOBeX Corporate Total Return meningkat 7,62% year-to-date (YtD). Adapun, yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun berada di posisi 6,99% per 5 Desember 2024.
"Biarpun di awal mungkin kita menghadapi masalah yield yang bergerak naik ke atas, tetapi ke depan dunia punya tema bahwa suku bunga menurun. Jadi tentu ini membuka peluang kita untuk berinvestasi lebih banyak di pasar obligasi," katanya dalam paparan di Market Outlook 2025 yang digelar Phintraco Sekuritas, Sabtu (7/12/2024).
Dia menjelaskan bahwa sentimen positif akan datang dari defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tetap berada di bawah 3% dan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) RI di bawah 50%. Berdasarkan data Kemenko Perekonomian, proyeksi rasio utang terhadap PDB pada 2025 sebesar 37,82%-38,71% PDB.
Menurutnya, dua indikator tersebut merupakan sentimen positif yang menyebabkan dana asing akan inflow ke pasar obligasi RI. Dia mengatakan bahwa pemerintahan Prabowo jangan sampai menaikkan rasio utang.
"Rasio utang terhadap GDP [gross domestic product] yang sempat dibilang akan menuju 50% itu tentu akan sedikit lebih berisiko bagi kita," tambahnya.
Selain itu, dia mengatakan bahwa sejauh ini valuasi pasar obligasi RI masih cukup menarik apabila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya dengan rating yang sama.
Terbaru, Rating and Investment Information, Inc. (R&I) mengafirmasi Peringkat Sovereign Credit Rating Indonesia pada BBB+ dengan outlook positif. Selain itu, Standard & Poor's Global Ratings (S&P) kembali mempertahankan peringkat kredit jangka panjang Indonesia pada 'BBB' dan jangka pendek pada 'A-2' dengan outlook stabil.
"Tetapi challenge [tantangan] di pasar obligasi kita malah datang dari SRBI [Sekuritas Rupiah Bank Indonesia] ya. Jadi surat berharga yang diterbitkan BI untuk menyerap likuiditas memperkuat dolar, itu di jangka pendek kalau yield-nya cukup tinggi ini menekan pasar obligasi kita," ujarnya.
Meski begitu, dia mengatakan bahwa harapannya ke depan nilai tukar rupiah bisa menguat sehingga dapat berdampak positif ke pasar obligasi.
Kemudian, dia melanjutkan bahwa risiko juga datang dari kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terkait dengan perang dagang tarif dan imigran karena mendorong inflasi naik. Lalu, konflik Ukraina-Rusia dan Timur Tengah juga turut menjadi perhatian.