Bisnis.com, JAKARTA — Penerbitan surat utang bisa menjadi opsi pendanaan bagi korporasi pada akhir tahun ini dengan harapan pelonggaran suku bunga berlanjut. Namun, sejumlah tantangan tampil dari sisi ketidakpasian kebijakan di AS maupun prospek pertumbuhan ekonomi domestik.
Fixed Income Analyst PEFINDO Ahmad Nasrudin mengatakan ketidakpastian kebijakan dalam beberapa bulan mendatang, baik di Amerika Serikat (AS) maupun di negara lain sebagai respon kebijakan Trump 2.0, dapat menciptakan volatilitas di pasar modal.
"Hal ini akan membuat investor kemungkinan masih akan memfavoritkan surat utang daripada aset berisiko seperti saham karena ketidakpastian di dalam perekonomian masih akan tinggi," katanya kepada Bisnis, Kamis (14/11/2024).
Adapun, perubahan kebijakan ekonomi Presiden AS terpilih Donald Trump kemungkinan akan mendorong penyesuaian kebijakan oleh negara lain, termasuk langkah pembalasan terutama bagi pihak yang merasa dirugikan seperti China.
Adaptasi kebijakan itu, lanjut Ahmad, biasanya dilakukan melalui pemberian insentif pada produk ekspor unggulan suatu negara agar tidak kehilangan daya saing meskipun terpukul oleh kebijakan pengenaan tarif dari AS.
Selain itu, pelaku pasar juga masih mencermati arah kebijakan suku bunga dari bank sentral. Menurut Ahmad, The Fed sudah mengindikasikan peluang untuk melanjutkan pemangkasan suku bunga pada pertemuan Desember 2024.
Baca Juga
Apabila terjadi, hal itu akan mendorong yield obligasi pemerintah turun dan pada akhirnya memacu penurunan yield obligasi korporasi lebih jauh.
Sementara dari sisi suplai, korporasi biasanya antusias untuk mengganti surat utang yang mahal sebelumnya dengan yang lebih murah. Hal itu dengan memanfaatkan era suku bunga rendah.
Pada akhir tahun ini, Ahmad menunjukkan ada risiko subtitusi dari instrumen investasi lainnya. Bank Indonesia kemungkinan akan menawarkan yield SRBI di level tinggi untuk mendukung stabilisasi rupiah di tengah dolar yang kembali menguat.
"Saat ini, yield tertimbang SRBI tenor 1 tahun pada lelang terakhir adalah sebesar 7.036% yang mana hampir setara dengan yield untuk peringkat AAA dengan tenor yang sama," katanya.
Tak hanya itu, pertumbuhan ekonomi yang melemah menjadi 4,95% pada kuartal III/2024 dari 5,05% di kuartal II/2024 mengindikasikan prospek bisnis yang relatif lebih lemah. Seterusnya, hal itu bisa mempengaruhi minat perusahaan untuk menerbitkan surat utang.