Bisnis.com, JAKARTA — Harga Bitcoin (BTC) mengalami fluktuasi yang cukup tajam dalam beberapa hari terakhir, menyusul rilis data Indeks Harga Konsumen (CPI) Amerika Serikat untuk bulan Juli.
Sebelum data inflasi diumumkan, harga BTC sempat melonjak ke level US$61.000 karena investor institusi dan ritel berlomba-lomba melakukan akumulasi. Namun, setelah data dirilis, harga Bitcoin mengalami penurunan, menyentuh level US$58.885.
Penurunan inflasi CPI tahunan AS menjadi 2,9% dari sebelumnya 3% pada bulan Juni, menurut data dari Biro Statistik Tenaga Kerja AS. Sementara itu, inflasi inti CPI AS turun selama empat bulan berturut-turut, mencapai 3,2%—angka terendah sejak Maret 2021.
Analis Tokocrypto Fyqieh Fachrur, menjelaskan bahwa penurunan inflasi ini sebenarnya memberikan peluang bagi The Fed untuk mempertimbangkan pemangkasan suku bunga. Namun, keputusan tersebut masih akan ditentukan berdasarkan data pekerjaan dan inflasi Personal Consumption Expenditures (PCE) yang akan datang.
"Pasar memprediksi bahwa The Fed akan memangkas suku bunga lebih besar pada bulan September. Suku bunga yang lebih rendah biasanya mendorong minat terhadap aset berisiko seperti Bitcoin, karena imbal hasil dari instrumen yang lebih aman seperti surat utang negara cenderung menurun," ujar Fyqieh.
Menurut data CME FedWatch, ada kemungkinan 50% bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga sebesar 50 bps pada bulan September, dan bahkan ada kemungkinan penurunan total sebesar 100 bps sepanjang tahun ini.
Baca Juga
Sentimen Negatif yang Menekan Bitcoin Meskipun data inflasi AS yang positif seharusnya memberikan sinyal pemulihan bagi pasar kripto, sentimen negatif tetap membayangi pergerakan Bitcoin. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah berita tentang pemerintah AS yang memindahkan 10.000 BTC ke Coinbase Prime.
Bitcoin tersebut diduga berasal dari kasus Silk Road dan disita oleh otoritas AS setelah transfer Bitcoin senilai US$2 miliar sebelumnya pada bulan Juli. Akibat berita ini, harga Bitcoin langsung turun, meskipun sempat naik sebelum rilis data inflasi AS.
Secara teknikal, lanjut Fyqieh, Bitcoin sedang mencoba pulih dari penurunan harga sebesar 25% yang terjadi akibat gejolak pasar global beberapa waktu lalu. Meskipun Bitcoin telah hampir sepenuhnya menghapus kerugian tersebut, konfirmasi lebih lanjut dibutuhkan untuk memastikan kelanjutan rebound di sesi mendatang.
"Potensi pemangkasan suku bunga oleh The Fed bisa menjadi pemicu positif bagi harga BTC," tambah Fyqieh.
Fyqieh melanjutkan analisis Pergerakan Bitcoin Sejak mencapai titik tertinggi sepanjang masa pada bulan Maret, Bitcoin mengalami penjualan besar-besaran yang melibatkan dompet dari berbagai ukuran. Namun, tanda-tanda pembalikan mulai terlihat dalam beberapa minggu terakhir, terutama di antara dompet terbesar yang biasanya terkait dengan ETF.
"Dompet-dompet ini mulai kembali mengakumulasi Bitcoin, menunjukkan kepercayaan yang meningkat terhadap aset kripto ini," ucapnya.
Perubahan dalam pasokan Pemegang Jangka Panjang (Long Term Holder/LTH) selama 7 hari juga mengindikasikan adanya pergeseran dalam saldo agregat mereka. Distribusi signifikan yang terjadi sekitar titik tertinggi sepanjang masa pada bulan Maret sering kali dikaitkan dengan formasi puncak makro. Namun, metrik ini kini telah kembali ke wilayah positif, menandakan bahwa LTH cenderung mempertahankan koin mereka.
Peralihan dari distribusi ke akumulasi ini biasanya mencerminkan kepercayaan yang lebih besar terhadap aset, yang dapat mengurangi tekanan jual di pasar. Akibatnya, perilaku ini bisa mendukung harga Bitcoin atau bahkan memicu momentum kenaikan, karena lebih banyak koin yang disimpan untuk jangka panjang.
Dari perspektif teknis, Bitcoin saat ini diperdagangkan di bawah rata-rata pergerakan eksponensial 50 hari. Jika terjadi breakout di atas EMA 50 hari, harga BTC kemungkinan akan naik menuju garis tren atas, yang sejajar dengan level retracement Fibonacci 0.786 di US$66.900 atau sekitar Rp1,045 miliar.
"Sebaliknya, jika Bitcoin gagal menembus gelombang merah ini, harga bisa turun menuju garis tren bawah di sekitar US$54.800 atau sektiar Rp856 juta, yang sejajar dengan garis Fib 0.236," pungkasnya.