Bisnis.com, JAKARTA — Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II/2020 BPK melaporkan adanya temuan tiga reksa dana yang sudah diperintahkan dibubarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ternyata belum dibubarkan oleh manajer investasi yang menerbitkannya hingga lembaga pemeriksa eksternal itu menyelesaikan laporan pada akhir 2020.
“NAB [nilai aktiva bersih] di tiga reksa dana yang sudah diperintahkan dibubarkan oleh OJK tetapi belum dibubarkan oleh MCMIX sebesar Rp1,12 triliun,” ungkap BPK dalam laporannya.
BPK menilai ada potensi kerugian nasabah akibat penurunan NAB di tiga reksa dana yang sudah diinstruksikan untuk dibubarkan tersebut.
Lembaga pemeriksa eksternal tersebut juga menilai kurangnya akuntabilitas dalam proses penanganan pelanggaran yang dilakukan manajer investasi, termasuk perlindungan hak para investor reksa dana yang belum dibubarkan atau dilikuidasi tersebut jika OJK tidak segera mengambil langkah-langkah penyelesaian atas pelanggaran pengelolaan RD MCMIX.
“Ketua Dewan Komisioner OJK perlu segera memerintahkan Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal untuk segera menetapkan pedoman yang mengatur penyelesaian permasalahan reksa dana, termasuk pemberian perintah tertulis pembubaran RD sampai dengan pengembalian dana nasabah,” tulis BPK dalam rekomendasinya di laporan tersebut, yang dikutip Bisnis, Sabtu (26/6/2021).
Sejak akhir 2019, OJK memang agresif memberikan ‘kartu kuning’ ke sejumlah reksa dana dan manajer investasi, dari mulai larangan transaksi sementara hingga vonis beredel. Kondisi tersebut terjadi di saat investor reksa dana tengah booming dan ramainya kasus transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan portofolio oleh manajer investasi, yang dipicu oleh kasus Jiwasraya.
Baca Juga
Sebelumnya dilaporkan BPK juga menyampaikan rekomendasi atas pemeriksaan pengelolaan investasi dan operasional Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan pada periode 2018—15 November 2020.
Rekomendasinya adalah BPJS Ketenagakerjaan perlu melakukan cut loss atau take profit di sejumlah saham yang tidak ditransaksikan. BPK menyebut enam dari total 34 portofolio saham BPJS.
BPK menilai bahwa tata kelola investasi BPJS Ketenagakerjaan belum sepenuhnya memadai, sehingga kehilangan kesempatan untuk memperoleh hasil pengembangan dana secara optimal. Hal tersebut salah satunya muncul dari ketidakjelasan keputusan cut loss atau take profit BPJS.
Selain itu, BPK menemukan bahwa BPJS Ketenagakerjaan menanggung risiko tinggi apabila reksa dana yang dimiliki 100% mengalami penurunan kinerja atau rugi tanpa adanya sharing risiko dengan pihak lain.
Terdapat pula potensial loss yang tinggi dari investasi saham dan reksa dana, sehingga BPK merekomendasikan sejumlah kebijakan cut loss. Pertama, BPK merekomendasikan Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo untuk membuat mekanisme cut loss secara jelas dan tegas, agar dapat menjadi pedoman pengambilan keputusan cut loss. Lalu, BPK pun merekomendasikan pelaksanaan transaksi sejumlah saham.
"[Kedua,] BPK merekomendasikan BPJS Ketenagakerjaan agar mempertimbangkan untuk melakukan take profit atau cut loss saham-saham yang tidak ditransaksikan antara lain saham SIMP, KRAS, GIAA, AALI, LSIP, dan ITMG."