Bisnis.com, JAKARTA – Kinerja emiten maskapai penerbangan diprediksi masih akan berat, seiring kenaikan harga minyak dunia yang mengerek harga avtur. Baik PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. maupun PT AirAsia Indonesia Tbk. diprediksi masih akan membukukan kerugian pada 2018.
Berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan Garuda Indonesia pada pekan lalu, emiten dengan kode saham GIAA tersebut berhasil membukukan kerugian yang lebih rendah dibandingkan kuartal I/2017.
Pada tiga bulan pembuka 2018, Garuda Indonesia membukukan kerugian bersih sebesar US$64,3 juta. Kendati masih rugi, krugian tersebut mengerucut 36,5% dibandingkan capaian perseroan pada kuartal I/2017(yoy) yang sebesar US$101,2.
Akhir pekan lalu, AirAsia Indonesia mengumumkan pada kuartal I/2018 emiten dengan kode saham CMPP tersebut membukukan rugi komprehensif tahun berjalan yang dapat diatribusikan pada pemilik entitas induk sebesar Rp218,67 miliar.
Kerugian tersebut melonjak 95,3% dibandingkan capaian perseroan paa kuartal I/2017. Kedua emiten maskapai tersebut membukukan kenaikan biaya yang cukup besar untuk bahan bakar rental armada, dan perawatan pesawat.
Diretur Utama Garuda Indonesia Pahala N. Mansury pekan lalu menyampaikan perseroan yakin kinerja GIAA sudah on-track untuk dapat membukukan laba bersih pada tahun ini setelah finansial sempat terjerembab pada 2017 lalu.
Baca Juga
“Biaya perawatan pesawat kami meningkat karena jumlah pesawat Citilink juga meningkat dibandingkan setahun sebelumnya. Ke depan, kami yakin harga bahan bakar akan melandai dan akan lebih stabil,” ungkap Pahala.
Selama kuartal I/2018, GIAA membukukan kenaikan biaya untuk bahan bakar sebesar 8,1% menjadi US$316 juta, dan kenaikan maintenance sebesar 10,2% menjadi US$99 juta. Adapun, kenaikan terbesar CMPP yaitu sebesar 80,1% untuk pemasaran, dan biaya bahan bakar yang terkerek 19,7%.
Analis Ciptadana Sekuritas Fahressi Fahalmestra mengungkapkan selama harga bahan bakar masih tinggi, pendapatan emiten penerbangan akan terus terpukul. Untuk tahun ini, kondisi tersebut diprediksi akan membuat GIAA tetap membukukan kerugian meski nilainya sangat kecil.
“Biaya maintenance Garuda Indonesia memang naik, tapi mereka sekarang lebih efisien dalam hal menurunkan biaya CASK. Sejauh ini operasionalnya masih in line [membaik], namun kalau fule cost tinggi, akan hit pendapatan mereka,” ungkap Fahressi.
Fahressi mengungkapkan selama kuartal I/2018, langkah Garuda Indonesia untuk melakukan efisiensi rute dan menahan untuk menambah pesawat berdampak positif bagi kinerja perseroan. Dalam waktu dekat, rencana penerbitan obligasi global juga akan memperbaiki leverage perseroan.
Sementara itu, Analis Narada Kapital Indonesia Kiswoyo Adi Joe mengungkapkan emiten maskapai harus menghadapi tantangan beruntun mulai dari kenaikan harga bahan bakar, hingga persaingan antarmaskapai low cost carrier yang memperketat peta persaingan.
“
Di tatanan global, beberapa perusahaan maskapai asing juga membukukan rugi. Harga bahan bakar itu faktor penting karena porsinya pada cost bisa 30%-40%. Kondisi memang membuat emiten maskapai sulit membukukan keuntungan,” ungkap Kiswoyo.