Bisnis.com, JAKARTA - Emiten batu bara yang dinakhodai Garibaldi Thohir, PT Adaro Energy Indonesia Tbk. (ADRO) menargetkan kontribusi pendapatan bisnis batu bara termal dan batu bara non termal seimbang 50:50 pada 2030.
Oleh karena itu, ADRO akan memacu bisnis smelter aluminium, energi baru terbarukan (EBT), dan batu bara metalurgi (coking coal).
Lie Luckman, Chief Financial Officer (CFO) ADRO, saat ini Grup Adaro membagi lini bisnisnya menjadi tiga pilar, yakni Adaro Energy, Adaro Minerals atau PT Adaro Minerals Indonesia Tbk. (ADMR), dan Adaro Green.
Adaro Energy membawahi sejumlah bisnis batu bara Adaro, mulai dari tambang, logistik, jasa pertambangan, hingga Adaro Power untuk proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Adapun, ADMR mencakup bisnis batu bara metalurgi hingga mineral yang saat ini sedang mengembangkan smelter aluminium di Kalimantan Utara.
Sementara itu, Adaro Green menjadi pilar bisnis Grup Adaro di sektor EBT, mencakup pembangkit listrik tenaga air, solar, hingga angin. Ke depannya, Adaro akan menyeimbangkan bisnis Adaro Energy dengan Adaro Minerals dan Adaro Green.
"Pilar Adaro Minerals dan Adaro Green kami harapkan bertumbuh ke depannya sehingga pada 2030 Grup Adaro memiliki 50% pendapatan dari batu bara non termal. Jadi, Pilar 2 dan 3 akan seimbang dengan Pilar 1," jelasnya dalam Public Expose Live 2023, Selasa (28/11/2023).
Baca Juga
Sebagai informasi, batu bara terbagi menjadi dua kelompok utama yaitu batu bara termal (thermal/steaming coal) yang biasa digunakan bahan bakar (fuel) sebagai pembangkit listrik. Adapun, batu bara metalurgi (coking coal atau metallurgical coal) yang biasa digunakan sebagai salah satu bahan utama dalam industri metalurgi (mineral dan logam).
Lie Luckman menyampaikan untuk menyeimbangkan bisnis batu bara termal dan non termal, Adaro akan memacu produksi batu bara metalurgi ADMR sekaligus proyek smelter aluminium. Per September 2023, ADMR menghasilkan batu bara metalurgi 3,98 juta ton, naik 55% dari tahun sebelumnya 2,56 juta ton.
Sampai akhir 2023, ADMR ditargetkan menghasilkan batu bara metalurgi 3,8 juta-4,3 juta ton. Dalam jangka panjang hingga 2025, ADMR diharapkan dapat memproduksi 6 juta ton batu bara metalurgi melalui pembukaan tambang baru.
Sejauh ini ADMR melalui perusahaan anak telah mengoperasikan dua konsesi PKP2B, yaitu melalui PT Lahai Coal (LC) dan PT Maruwai Coal (MC). Sementara itu, ADMR masih memiliki potensi produksi batu bara dari konsesi Juloi Coal, Kalteng Coal dan Sumber Barito Coal.
"Batu bara metalurgi memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan batu bara termal sehingga marginnya juga lebih baik," imbuhnya.
Selain itu, Adaro Minerals juga sedang mengembangkan smelter aluminium berkapasitas 500.000 ton per tahun untuk mendukung pengembangan industri kendaraan listrik di Indonesia. Diharapkan pengembangan tahap I selesai pada 2025 dan berkontribusi terhadap pendapatan ADRO.
Dalam jangka panjang, smelter yang berlokasi di Kalimanan Utara Industrial Park tersebut dapat menghasilkan 1,5 juta ton aluminium per tahun.
"Dua sektor ini [batu bara metalurgi dan smelter aluminium] akan memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan Adaro mulai 2025," papar Lie Luckman.
Disinggung perihal apakah Adaro akan mengurangi produksi batu bara termal, Lie Luckman menyampaikan, manajemen tentunya sudah membuat perencanaan jangka panjang. Oleh karena itu, Adaro tetap akan menjaga level produksinya.
Pada 2023, Grup Adaro menargetkan produksi batu bara 62 juta-64 juta ton, yang diperkirakan bisa mencapai batas atas pada akhir tahun. Produksi itu juga mencakup batu bara metalurgi dari ADMR. Per September 2023, Adaro memproduksi batu bara 50,73 juta ton, naik 12% dari 45,37 juta ton per September 2022.
"Kami berada di posisi yang tepat mencapai batas atas produksi 64 juta ton pada 2023, dengan batu bara termal 60 juta ton, sedangkan batu bara metalurgi 4 juta ton," imbuhnya.